Skip to main content

Posts

12. Pesan untuk Oma

  Cuaca panas menyengat kulit selepas keluar dari ruangan ber-AC di Svarna Grill. Resto ini semakin ramai ketika jam satu siang—tepat ketika makan siang. Di pelataran parkir Saguna memanggilku dan mengejarku hingga kami berdiri berhadapan. Lucunya, dia yang setengah berlari ke arahku, justru jantungku yang berdebar disertai nafas pendek-pendek.  Apakah ada semacam gelombang tak kasat mata terpasang di resto ini, batinku.  Ia tiba tepat di depanku. "Aku minta tolong!" katanya, "bisa telepon nomorku. Sepertinya aku meninggalkan ponselku di suatu tempat." Aku mengiyakan karena memang ia tampak kebingungan. "Tunggu sebentar ya!" Aku mengeluarkan ponselku, " berapa nomormu?" tanyaku dan ia menyebutkan angka-angka sementara aku memencet nomor yang ia sebutkan. Aku bisa mendengar getar ponsel tak jauh dari tempat kami berdiri. Ia celingukan memeriksa dari mana asal bunyi itu. Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya, dan bisa merasakan bunyi getar

11. Makan Siang Kejutan

  "Anak perempuan bangunnya siang! Harusnya anak perempuan bangun sebelum matahari terbit," ujar papa yang sudah duduk di meja makan pukul tujuh pagi. Menunggu sarapan tersaji, sambil membaca korannya ditemani seduhan kopi hitam tanpa gula. "Ini juga sudah bangun pagi. Toh yang penting masih belum tengah hari," sahutku sambil mengambil segelas air hangat dari dispenser di bawah tangga. Mama kemudian muncul sambil membawa panci berisi sup hangat dengan kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan. "Len, tolong ambil piring di dapur ya!" perintah mama dan aku dengan sigap berjalan ke dapur, mengambil tiga buah piring yang sudah kering dari rak. "Kemana Mas Edi? kok enggak kelihatan sejak kemarin malam," tanyaku pada kedua orang tuaku. Mama bilang bahwa mas Edi sedang menginap di rumah temannya dari kemarin. "Katanya habis ini mampir mau sarapan. Lama enggak ketemu kamu, jadi mau mampir," timpal papa tak lama kemudian. "Tumben begitu

10. Keputusan Penting, Misi dan Eksekusi

  Pukul setengah sepuluh malam, aku menyudahi makan malam itu. Tanpa banyak drama dan hanya jabat tangan biasa antar teman. Aku kira Arjuna sudah bisa menilai gelagatku sepanjang perbincangan kami. Topik-topik intim tidak tersentuh dalam acara itu. Beberapa kali ia berkata bahwa orang tuaku membuat keputusan yang tepat untuk meninggalkan kami, karena kalau tidak suasananya mungkin akan canggung. Meski dalam hati aku tidak percaya. Bisa dibilang Arjuna sosok tidak terduga. Dia sangat berbeda dengan Brian atau dari teman laki-lakiku, saat tahu usianya hampit 40 tahun tapi masih bujangan. Sebelum pulang ke rumah aku memutuskan untuk memutari kota. Melewati alun-alun kota di Jalan Merdeka, lalu berputar melewati pasar besar menuju ke alun-alun Tugu. Meski sudah pukul sepuluh malam, jalanan masih terlihat cukup ramai. Maklum, hari sabtu dalam satu minggu, selalu menjadi satu hari untuk cinta. Alunan lagu-lagu lawas tahun 2000-an menemani sepanjang jalanku sambil merenungkan langkah selanjut

9. Arjuna dan Penolongnya

  Seminggu kemudian,  Setelah berlibur, aku harus menghadapi realita kehidupanku di Surabaya. Menghadapi jalanan macet, riuh bel kendaraan beserta polusi tidak peduli pagi atau malam hari.  Rungkut Industri salah satu tempat di mana aku mengais rezeki, adalah salah satu wilayah sentralisasi industri skala besar di Surabaya. Banyak manufaktur asing atau lokal yang memiliki karyawan ratusan bahkan ribuan, berdiri di kompleks ini. Ketika musim kemarau tiba, jalanan ke arah kantorku sangat berdebu belum lagi sebagian jalannya berbatu dan tak mulus. Lain kemarau, lain lagi musim hujan. Kompleks di sini memiliki drainase yang kurang baik, sehingga saat hujan tiba banjir bisa menenggelamkan seperempat badan motor. Belum lagi kondisi kantorku yang cukup pelik. Ada senggol sesama karyawan sedikit berujung rumor. Ada juga yang saling sikut bisa berujung hilangnya kepercayaan. Yang paling parah adalah atasan tanpa kompetensi bisa lebih berpengaruh daripada mereka yang kompeten.  "Lensa-san,

8. Kilas Memori di Pernikahan

  Pernikahan Jason dan Amira di Kamandanu Resort tak seramai yang kubayangkan. Acara pemberkatan sudah dilakukan pagi tadi yang hanya dihadiri oleh kurang lebih 30 orang tamu undangan. Namun meski acara pernikahan yang cukup sederhana untuk ukuran seorang pebisnis seperti Jason, tidak mengurangi nilai mewah yang dari vibes orang-orang yang datang. Kebanyakan mereka adalah relasi kerja Jason, yang notabene adalah salah satu pemilik resort di Bali, setidaknya itu kata Gina. Setelah acara pemberkatan, mempelai kemudian melanjutkan ke acara makan dan bisa dibilang acara ramah-tamah dengan para tamu. Acara makan-makan itu dilakukan di pinggir pantai. Meja-meja bundar dengan taplak putih sudah terpasang di sisi taman yang hadap ke laut. Aku mencari tempat yang cocok untuk duduk. Beberapa kali ada pria yang menyapaku atau sekedar mengobrol singkat tentang hal-hal sepele.  Akhirnya aku menemukan tempat yang tak terlalu jauh dari kerumunan, namun juga tidak terlalu bising. Di area kolam renang

7. Lagi-lagi Siti Nurbaya

  Apa yang terlintas begitu mendengar wilayah Lombok? Pantai Senggigi, kelompok Gili dan Gunung Rinjani. Bagi sebagian besar orang termasuk aku, begitu mendamba bisa datang ke wilayah ini, setidaknya untuk mencicipi sensasi eksotis itu. Katanya "kurang greget jika ke Lombok tidak melancong ke Senggigi, kelompok Gili dan menaklukkan Rinjani". Tapi pandangan itu berangsur luntur ketika kita berhadapan dengan realita. Waktu, tenaga dan tentu saja uang.  Bagiku saat itu, ke Lombok hanya sekedar ingin membayar sebuah janji pada kawan lama dan tentu saja sedikit melarikan diri dari masalah. Ini hari ketiga aku berlibur ke wilayah ini. Sesuai dengan janji Gina, ia benar-benar mengajakku ke tempat yang 'teduh' dan jauh dari keramaian. Tempat itu hijau, sejuk dan memungkinkanku untuk menghirup banyak udara bersih. Pagi itu Gina mengajakku ke Taman Narmada di Lombok Barat. Taman yang hijau dan ber-terasering dengan pemandian dan area kolam di dalamnya. Aroma sejuk bercampur den

6. Tokoh Baru yang Muncul

Sejak kepergianmu Sri, begitu banyak penyesalan yang tak terbantahkan. Aku menyesal sudah menyakitimu hingga akhirnya kau melepaskan tanganku. Seandainya bisa memutar waktu, akan lebih baik kiranya kita tidak pernah bertemu. Dengan begitu aku tak perlu membuatmu jatuh cinta atau sengaja menyakitimu.  "Lu yakin nggak kenal siapa Sri?" tanya Gina sambil menguyah makanan di mulutnya.  "Aku nggak pernah denger nama Sri disebut-sebut, sih." Aku masih berpikir keras sambil membaca ulang surat yang aku temukan dari dalam kamera kakek. "Apa mungkin itu nama nenekku ya," sekali lagi aku bergumam sambil memiringkan kepalaku. "Apa lu nggak pernah tanya ke Mama lu? atau barangkali kakek lu pernah cerita tentang nenek lu?"  "Bukannya aku pernah cerita ya dulu, kalau mamaku benci banget sama nenek dan melarang semua orang dikeluargaku menyebut namanya," kataku sambil mengingatkan cerita itu pada Gina. "Ah, bener! Gue inget! Itu alasa