Skip to main content

2. Welcome to Lombok

Malam itu pukul setengah sembilan, seorang wanita yang kurang lebih berusia lima puluh tahun membangunkanku. “Mbak, maaf pesawat sudah mau landing,” katanya sambil mengarahkan pada sabuk pengaman yang terlepas di kursiku. “Oh terima kasih,” jawabku sambil memperbaiki posisi dudukku dan memasang sabuk pengamanku.

Rasanya tubuhku begitu ringkih seolah habis membawa beban berat berkilo-kilo. Aku tidak bisa mereganggkan kaki dan tanganku karena tas ransel yang ada di bawah kakiku, serta sisi kiriku yang terdapat penumpang lain. Yang bisa aku lakukan hanya menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri untuk sekedar peregangan. Tak lama kemudian pilot maskapai yang aku naiki memberikan pengumuman untuk landing dalam sepuluh menit.

Dari pesawat aku mengarahkan pandangan pada jendela di sampingku. Kilau bintang daratan berpendar seperti pasir di pantai seolah menggodaku untuk segera menikmatinya. “Tinggal di Lombok, mbak?” tanya wanita paruh baya itu lagi. “Tidak, saya hanya berlibur,” sahutku sambil mengarahkan pandangan padanya.

“Kalau berlibur, mampirlah ke pulau Gili. Kata putra saya di sana lautnya indah. Ah! Andaikan saya bisa mampir ke Gili, pasti kemari tak sia-sia. Maklum putra semata wayang kerja di industri travel, jadi kalau musim liburan pasti sibuk,” jawabnya sambil matanya memandang keluar jendela. “Coba tadi pesawatnya tidak delay, kita bisa menikmati sunset dari sini,” katanya sambil sedikit terkekeh. “Benar,” kataku kemudian memandang ke arah jendela yang ternyata kilau bintang daratan itu sudah hilang dan menyisakan gelap gulita.

Pesawat yang membawaku dari Surabaya ke Lombok seharusnya tiba pukul lima sore. Lagi-lagi karena alasan berulang yaitu “kendala teknis” membuat salah satu maskapai paling murah ini, paling sering delay. Tak tanggung-tanggung keterlambatan keberangkatan maskapai ini bisa sampai dua jam. Meski cukup dongkol dengan delay yang cukup lama itu, toh aku tidak punya pilihan lain, selain menerima karena berusaha menghemat uang transport demi berlibur ke Lombok.

Laju pesawat bisa aku rasakan mulai meningkat ketika proses landing. Hingga dalam hitungan ke sepuluh, aku bisa melihat deretan rumah penduduk yang diterangi “bintang daratan” berjejer dan tak lama setelahnya goncangan dari laju roda pesawat menggetarkan tubuh seisi penumpang. Lima menit kemudian pesawat mulai melaju pelan, berbelok-belok mengikuti rute aspal jalurnya dan berhenti secara perlahan.

Ucapan dari pengeras suara di kabin pesawat oleh pramugari mengatakan bahwa kita sudah tiba di bandara internasional Lombok pukul sembilan malam waktu Lombok, atau pukul delapan dari kota Surabaya. Setelah terhenti, para penumpang bergegas mengambil bagasi di atas kabin, bergerak seperti mesin otomasi. Orang per orang.

Aku masih menatap nanar nama bandara yang terpampang jelas di atas bangunan di depanku. “Di sini mbak dijemput?” tanya ibu di sebelahku. “Iya Bu, saya dijemput teman,” jawabku. “Syukurlah. Kalau tidak dijemput, saya mau mengantarkan mbak sampai penginapan,” katanya ramah.

Tidak bu. Terima kasih,” jawabku sambil tersenyum. Ibu itu mengangguk dan berpamitan, mendahuluiku untuk turun setelah para pramugari mempersilahkan penumpang turun. Aku bergegas berdiri setelah para penumpang sudah mulai lenggang. Mengucapkan terima kasih pada para pramugari dan menyapa angin yang menerpa rambut kusutku. “Welcome to Lombok,” kataku pada diri sendiri.

🌟🌟🌟

Ini pertama kalinya aku mengunjungi pulau Lombok. Setelah dua tahun kemarin, kedatanganku ke pulau ini hanya sekedar wacana dan penuh drama. Mulai dari drama pekerjaan sampai drama percintaan yang membuat kewarasanku ada di ujung tanduk. Belum lagi pandemi COVID-19 yang membatasi ruang gerakku termasuk banyak orang.

Tulisan “Welcome to Lombok International Airport (LIA)” terpampang di depan pintu masuk bandara. Aku memandang sekeliling mencari di mana pengambilan bagasi dari penerbanganku. Dari jauh kumenemukan seorang penumpang yang duduk di depanku sedang menunggu bagasinya. Aku berjalan sambil merogoh saku celana jeans, mengambil ponsel dan mematikan mode pesawat. Sembari berjalan, suara notifkasi berdenting bersautan, seolah aku menjadi orang paling sibuk dalam semalam.

Sambil menunggu, aku mencari kontak Gina. Gina Pramesti, sahabatku sejak jadi maba hingga detik ini, yang tentu saja menyeretku untuk segera mengunjunginya di pulau ini. “Halo!” sapaku sambil menunggu bagasiku untuk muncul. “Len! Gue udah nunggu sampai jamuran, lu cuma manggil HALO!” omel Gina dengan logat Jakarta yang kental.

Maaf Gin. Aku nggak inget kalau belum nyalain ponsel,” kataku sambil tersenyum membayangkan ekspresinya jengkelnya kalau disuruh nunggu. “Ini aku lagi antri ambil bagasi. Eh, itu bagasiku. Aku segera ke sana ya,” kataku buru-buru menutup sambungan telepon sebelum mendengar jawaban Gina.

Aku mengambil koper kecil dan sekardus oleh-oleh dari Malang yang kupesan lewat Siti, teman sekantorku yang asli orang malang. Aku menumpuk kardus itu di atas koper dan mendorongnya. Bandara Lombok tidaklah sebesar bandara Surabaya atau bandara Jakarta, jadi kemungkinan aku tak menemukan jalan keluar itu, kecil sekali. Aku keluar dari bandara, udara panas dan gerah segera menghampiriku. Dering ponsel sekali lagi berbunyi, “Aku sudah di luar bandara nih,” kataku sambil terus berjalan berusaha mencari sosok Gina. “Gue ngelihat lu,” katanya di seberang. Mataku masih berusaha mencari sosok di seberang telepon, dan segera aku bisa melihat seorang perempuan dengan rambut di cat coklat tua melambai ke arahku. “Aku melihat,” kataku dan menutup sambugan.

Aku menghampiri Gina yang berdiri di pilar, dekat warung soto ayam yang sedang tutup. Dia segera memelukku dengan erat dan seperti sudah melupakan kekesalannya yang tadi. “Aduh seneng gue, akhirnya bisa ketemu lu lagi!” katanya sambil melepaskan pelukannya dan kembali memelukku erat.

Apa kabar Gin?” tanyaku sambil membiarkan ia memelukku lebih lama. Ia akhirnya melepaskan pelukannya, “Kabar? Lu bisa lihat gue masih hidup dan jemput lu,” jawabnya asal dan aku hanya tertawa mendengar jawabannya yang masih ‘Gina’. Kami kemudian berjalan menuju tempat di mana mobil Gina diparkirkan. Aku mengikutinya dari belakang dan dari bayangan punggung Gina seolah banyak cerita yang membuatnya begitu ringkih meskipun terlihat kuat. Mungkin inilah yang membuatku begitu dekat dengan sosok Gina dan merasa dialah cerminan sebagian dari diriku.

Comments

  1. Ngaretnya lama juga ya pesawatnya. Dari yang awalnya jam 5 sore, eh tau-tau sudah jam 9 malam baru landing. 😅

    Penasaran, apakah kakaknya sudah pernah ke Lombok sebelumnya?

    Plus catatan dikit, ada beberapa typo kak di penulisannya hehe 🙏

    ReplyDelete
  2. Suami orang Lombok, kak.. 😂
    Wah, makasih kakak buat masukannya. Jadi bisa diperbaiki.. Salam kenal ya kak. 🤗

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

1. Gara-gara Lensa

Namaku Lensa Matahari. Bagi banyak orang nama itu terdengar aneh, gabungan antara penangkap obyek dan obyek semesta. Aku lahir di Malang tepat 35 tahun yang lalu, dengan papa bernama Soedjono dan mama bernama Mariati. Aku lahir dari sebuah kecelakaan tak terduga antara papa dan mama yang membuahkanku. Sepeerti yang sering dikatakan mama, "Lensa ini kebobolan kok," pada kerabat. Kata-kata itu terus berulang sampai aku remaja, yang kadang membuatku merasa serba salah dengan kehadiranku. Yang paling parah dari itu semua, terkadang saat aku membangkang mama dengan ketus berkata, "inilah alasan mama enggak mau punya anak perempuan. Terlalu banyak aturan dalam mendidik!" Maka jika mama sudah berkata begitu, aku akan dengan mengkerut tak berdaya. Meski begitu setiap aku bertanya alasan sebenarnya mama membenci anak perempuan, mama sering kali mengelak dan memilih menghindar. Selain istilah kebobolan yang sering digembor-gemborkan mama dan kebencian mama terha...

12. Pesan untuk Oma

  Cuaca panas menyengat kulit selepas keluar dari ruangan ber-AC di Svarna Grill. Resto ini semakin ramai ketika jam satu siang—tepat ketika makan siang. Di pelataran parkir Saguna memanggilku dan mengejarku hingga kami berdiri berhadapan. Lucunya, dia yang setengah berlari ke arahku, justru jantungku yang berdebar disertai nafas pendek-pendek.  Apakah ada semacam gelombang tak kasat mata terpasang di resto ini, batinku.  Ia tiba tepat di depanku. "Aku minta tolong!" katanya, "bisa telepon nomorku. Sepertinya aku meninggalkan ponselku di suatu tempat." Aku mengiyakan karena memang ia tampak kebingungan. "Tunggu sebentar ya!" Aku mengeluarkan ponselku, " berapa nomormu?" tanyaku dan ia menyebutkan angka-angka sementara aku memencet nomor yang ia sebutkan. Aku bisa mendengar getar ponsel tak jauh dari tempat kami berdiri. Ia celingukan memeriksa dari mana asal bunyi itu. Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke arahnya, dan bisa merasakan bunyi getar...